Pages

Monday, March 1, 2010

mari kita membaca satu kisah pada zaman Rasulullah..

Salam...mari kita membaca satu kisah pada zaman Rasulullah..
Semoga kita sama2 dapat ambil ikhtibar..

Rasulullullah SAW, dengan sahabat-sahabatnya Abu Bakar r.a, Umar r.a, Utsman r.a dan 'Ali r.a bertamu ke rumah Ali r.a. Di rumah Ali r.a isterinya Sayidatina Fathimah r.ha puteri Rasulullah SAW enghidangkan untuk mereka madu yang diletakkan di dalam sebuah mangkuk yang cantik,dan ketika semangkuk madu itu dihidangkan sehelai rambut terikut di dalam mangkuk itu. Baginda Rasulullah SAW kemudian meminta kesemua sahabatnya untuk membuat suatu perbandingan terhadap ketiga-tiga benda tersebut.( mangkuk yg cantik, madu, dan sehelai rambut)

Abu Bakar r.a berkata,"Iman itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, orang yang beriman itu lebih manis dari madu, dan mempertahankan iman itu lebih susah dari meniti sehelai rambut"

Umar r.a berkata,"Kerajaan itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, seorang raja itu lebih manis dari madu, dan memerintah dengan adil itu lebih sulit dari meniti sehelai rambut"

Utsman r.a berkata,"Ilmu itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, orang yang menuntut ilmu itu lebih manis dari madu, dan beramal dengan ilmu yg dimiliki itu lebih sulit dari meniti sehelai rambut"

'Ali r.a berkata,"Tamu itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini,, menjamu tamu itu lebih manis dari madu, dan membuat tamu senang sampai kembali pulang ke rumahnya adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut"

Fatimah ar.ha berkata,"Seorang wanita itu lebih cantik dari seabuh mangkuk yg cantik ini, wanita yang menutup seluruh anggota pada tubuhnya itu lebih manis dari madu, dan mendapatkan seorang wanita yang tak pernah dilihat org lain kecuali muhrimnya lebih sulit dari meniti sehelai rambut"

Rasulullah SAW berkata," Seorang yang mendapat taufiq untuk beramal adalah lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, beramal dengan 'amal yang baik itu lebih manis dari madu, dan berbuat amal dengan ikhlas adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut"

Malaikat Jibril AS berkata," Menegakkan tiang-tiang agama itu lebih cantik dari sebuah mangkuk yang cantik ini, menyerahkan diri, harta, dan waktu untuk usaha agama lebih manis dari madu dan mempertahankan usaha agama sampai akhir hayat lebih sulit dari meniti sehelai rambut"

Allah SWT berfirman," Syurga-Ku itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik itu, nikmat syurga-Ku itu lebih manis dari madu, dan jalan menuju ke syurga-Ku adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut"

Sama2 kita mengambil pengajaran dari kisah ini...
wallahu'alam

Seorang Lelaki Melawan Iblis

Suami isteri itu hidup tenteram mula-mula. Meskipun melarat, mereka taat kepada perintah Tuhan. Segala yang dilarang Allah dihindari, dan ibadah mereka tekun sekali. Si Suami adalah seorang yang alim yang taqwa dan tawakkal. Tetapi sudah beberapa lama isterinya mengeluh terhadap kemiskinan yang tiada habis-habisnya itu. Ia memaksa suaminya agar mencari jalan keluar. Ia membayangkan alangkah senangnya hidup jika segala-galanya serba cukup.

Pada suatu hari, lelaki yang alim itu berangkat ke ibu kota, mau mencari pekerjaan. Di tengah perjalanan is melihat sebatang pohon besar yang tengah dikerumuni orang. Ia mendekat. Ternyata orang-orang itu sedang memuja-muja pohon yang konon keramat dan sakti itu. Banyak juga kaum wanita dan pedagang-pedagang yang meminta-minta agar suami mereka setia atau dagangnya laris.

"Ini syirik," pikir lelaki yang alim tadi. "Ini harus diberantas habis. Masyarakat tidak boleh dibiarkan menyembah serta meminta selain Allah." Maka pulanglah dia terburu. Isterinya hairan, mengapa secepat itu suaminya kembali. Lebih heran lagi waktu dilihatnya si suami mengambil sebilah kapak yang diasahnya tajam. Lantas lelaki alim tadi bergegas keluar. Isterinya bertanya tetapi ia tidak menjawab. Segera dinaiki keldainya dan dipacu cepat-cepat ke pohon itu. Sebelum sampai di tempat pohon itu berdiri, tiba-tiba melompat sesosok tubuh tinggi besar dan hitam. Dia adalah iblis yang menyerupai sebagi manusia.

"Hai, mau ke mana kamu?" tanya si iblis.

Orang alim tersebut menjawab, "Saya mau menuju ke pohon yang disembah-sembah orang bagaikan menyembah Allah. Saya sudah berjanji kepada Allah akan menebang roboh pohon syirik itu."

"Kamu tidak ada apa-apa hubungan dengan pohon itu. Yang penting kamu tidak ikut-ikutan syirik seperti mereka. Sudah pulang saja."

"Tidak boleh, kemungkaran mesti dibanteras," jawab si alim bersikap tegas.

"Berhenti, jangan teruskan!" bentak iblis marah.

"Akan saya teruskan!"

Kerana masing-masing tegas pada pendirian, akhirnya terjadilah perkelahian antara orang alim tadi dengan iblis. Kalau melihat perbedaan badannya, seharusnya orang alim itu dengan mudah dibinasakan. Namun ternyata iblis menyerah kalah, meminta-minta ampun. Kemudian dengan berdiri menahan kesakitan dia berkata, "Tuan, maafkanlah kekasaran saya. Saya tak akan berani lagi mengganggu tuan. Sekarang pulanglah. Saya berjanji, setiap pagi, apabila Tuan selesai menunaikan sembahyang Subuh, di bawah tikar sembahyang Tuan saya sediakan uang emas empat dinar. Pulang saja berburu, jangan teruskan niat Tuan itu dulu,"

Mendengar janji iblis dengan uang emas empat dinar itu, lunturlah kekerasan tekad si alim tadi. Ia teringatkan isterinya yang hidup berkecukupan. Ia teringat akan saban hari rungutan isterinya. Setiap pagi empat dinar, dalam sebulan saja dia sudah bisa menjadi orang kaya. Mengingatkan desakan-desakan isterinya itu maka pulanglah dia. Patah niatnya semula hendak membanteras kemungkaran.

Demikianlah, semenjak pagi itu isterinya tidak pernah marah lagi. Hari pertama, ketika si alim selesai sembahyang, dibukanya tikar sembahyangnya. Betul di situ tergolek empat benda berkilat, empat dinar uang emas. Dia meloncat riang, isterinya gembira. Begitu juga hari yang kedua. Empat dinar emas. Ketika pada hari yang ketiga, matahari mulai terbit dan dia membuka tikar sembahyang, masih didapatinya uang itu. Tapi pada hari keempat dia mulai kecewa. Di bawah tikar sembahyangnya tidak ada apa-apa lagi keculai tikar pandan yang rapuh. Isterinya mulai marah kerana uang yang kemarin sudah dihabiskan sama sekali.

Si alim dengan lesu menjawab, "Jangan kuatir, esok barangkali kita bakal dapat lapan dinar sekaligus."

Keesokkan harinya, harap-harap cemas suami-isteri itu bangun pagi-pagi. Selesai sembahyang dibuka tikar sejadahnya kosong.

"Kurang ajar. Penipu," teriak si isteri. "Ambil kapak, tebanglah pohon itu."

"Ya, memang dia telah menipuku. Akan aku habiskan pohon itu semuanya hingga ke ranting dan daun-daunnya," sahut si alim itu.

Maka segera ia mengeluarkan keldainya. Sambil membawa kapak yang tajam dia memacu keldainya menuju ke arah pohon yang syirik itu. Di tengah jalan iblis yang berbadan tinggi besar tersebut sudah menghalang. Katanya menyorot tajam, "Mau ke mana kamu?" herdiknya menggegar.

"Mahu menebang pohon," jawab si alim dengan gagah berani.

"Berhenti, jangan lanjutkan."

"Bagaimanapun juga tidak boleh, sebelum pohon itu tumbang."

Maka terjadilah kembali perkelahian yang hebat. Tetapi kali ini bukan iblis yang kalah, tapi si alim yang terkulai. Dalam kesakitan, si alim tadi bertanya penuh heran, "Dengan kekuatan apa engkau dapat mengalahkan saya, padahal dulu engkau tidak berdaya sama sekali?"

Iblis itu dengan angkuh menjawab, "Tentu saja engkau dahulu bisa menang, karena waktu itu engkau keluar rumah untuk Allah, demi Allah. Andaikata kukumpulkan seluruh belantaraku menyerangmu sekalipun, aku takkan mampu mengalahkanmu. Sekarang kamu keluar dari rumah hanya kerana tidak ada uang di bawah tikar sejadahmu. Maka biarpun kau keluarkan seluruh kebolehanmu, tidak mungkin kamu mampu menjatuhkan aku. Pulang saja. Kalau tidak, kupatahkan nanti batang lehermu."

Mendengar penjelasan iblis ini si alim tadi termangu-mangu. Ia merasa bersalah, dan niatnya memang sudah tidak ikhlas kerana Allah lagi. Dengan terhuyung-hayang ia pulang ke rumahnya. Dibatalkan niat semula untuk menebang pohon itu. Ia sedar bahawa perjuangannya yang sekarang adalah tanpa keikhlasan kerana Allah, dan ia sedar perjuangan yang semacam itu tidak akan menghasilkan apa-apa selain dari kesiaan yang berlanjutan . Sebab tujuannya adalah karena harta benda, mengatasi keutamaan Allah dan agama. Bukankah bererti ia menyalahgunakan agama untuk kepentingan hawa nafsu semata-mata ?

"Barangsiapa di antaramu melihat sesuatu kemungkaran, hendaklah (berusaha) memperbaikinya dengan tangannya (kekuasaan), bila tidak mungkin hendaklah berusaha memperbaikinya dengan lidahnya (nasihat), bila tidak mungkin pula, hendaklah mengingkari dengan hatinya (tinggalkan). Itulah selemah-lemah iman." (Hadist Riwayat Muslim)
--------------------

Dia budak agama, dia pergi usrah, dia pakai tudung labuh…

Perkongsian: Dia budak agama, dia pergi usrah, dia pakai tudung labuh…



Mereka juga manusia ~ picture by Supergrass

Ada seorang hamba Allah perempuan ini. Dia adalah seorang bekar pelajar di sekolah agama. Dia seorang yang solehah, menjaga auratnya dan memakai tudung labuh. Dia juga rajin mengikuti usrah.

Ditakdirkan Allah, dia dihantar belajar ke luar negara. Negara yang dia pergi, bukan pula negara orang Islam. Jurusannya bukan jurusan agama, tetapi Perubatan. Maka, dia diangkat menjadi orang yang dipercayai oleh pelajar yang seangkatan dengannya.

Awal-awal, dia seorang yang komited dengan agama. Sering mengajak kawan-kawannya agar mengingati Allah, melaksanakan amanah-Nya, dan meninggalkan larangan-Nya.

Satu hari, dia jatuh cinta dengan seorang lelaki yang bukan Islam. Lama kelamaan, dia meninggalkan peribadinya yang lama. Walaupun masih bertudung labuh, dia tidak lagi menjaga batas pergaulan. Sampai satu tahap, dia pernah tidur di dalam kereta berdua-duaan dengan lelaki tadi.

Apakah pandangan anda?

Apa yang anda akan lakukan bila mengetahui perkara ini, bila melihat perkara ini, atau bila menjadi salah seorang daripada kawan-kawan kepada pelaku perkara ini?

Kisah rekaan saya, tetapi situasinya merata-rata

Saya reka cerita itu. Ini bermakna, saya tidak pernah melihatnya dengan mata kepala saya sendiri. Tetapi situasi yang sinonim seperti cerita saya di atas berlaku di banyak tempat. Tidak perlu tanya saya dari mana saya tahu, tetapi saya sekadar hendak anda menjawab, betul atau tidak.

Betul kan?

Budak sekolah agama, lelaki ke, perempuan ke, dulu baik, tiba-tiba terjebak dengan sesuatu di luar lunas agama Allah. Perempuan tudung labuh, dulu jaga hubungan lelaki perempuan, tiba-tiba bercouple. Rakan kita yang nampak alim, tiba-tiba terdengar khabar dia berzina.

Ya, apa yang kita lakukan pada mereka-mereka ini?

Biasanya, mereka dihina. Disisihkan.

“Cis, menyampah gila aku. Dulu baik bukan main. Sekarang, mengalahkan aku buruknya. Aku pun tak pernah berdating dengan perempuan tau”

“Aku tak sangka betul, dulu bukan main solehah. Ingatkan aku itu ini. Sekarang tup-tup keluar dengan mamat tu. Tak senonoh la. Hipokrit”

“Tengoklah budak sekolah agama tu. Kata je belajar agama. Dulu bukan main lagi ceramah bagi dalil-dalil Al-Quran ingatkan orang. Sekarang, entah syurga dengan neraka pun tak kenal ke hapa”

Dan 1001 macam lagi yang biasanya akan terlepas dari mulut kita. Atau paling tidak, terdetik di dalam hati.

Kenapa? Kenapa kita senang bersikap demikian?

Akhirnya, mereka yang dahulunya ala-ala ustaz ustazah harapan agama ini disisihkan kerana kemaksiatan dan keingkaran yang mereka lakukan di hadapan mata kita har ini. Mereka dikutuk, dihina, dikeji, dihentam-hentam. Dan 99%, semuanya dilakukan di belakang mereka.

Saya suka bertanya.

Siapa yang pernah pergi dan bersembang, berbincang, mendalami kenapa mereka berubah sedemikian rupa?

Tiada siapa menarik mereka

Kita selalu kata begini:

“Alah, pelajar agama, takkan tak tahu”

“Dia kan hafal 30 juzu’ Al-Quran. Takkan la tak reti-reti lagi”

Tetapi pada saya, ini satu prinsip yang membawa kepada sikap kita yang saya nyatakan di atas. Ya, secara tidak langsung, kita seakan-akan meletakkan taraf pelajar agama, orang yang mengikuti usrah, mereka yang bertudung labuh dan berkopiah ini di taraf MALAIKAT.

Sedangkan, mereka adalah MANUSIA.

Bila namanya manusia, pasti ada waktu kesilapannya. Dan kadangkala, silapnya boleh jadi lebih buruk dari kesilapan mereka yang tidak pernah pun sekolah agama. Tetapi inilah dia ujian Allah SWT.

Dengan prinsip kita di atas tadi, maka kita meninggalkannya. Kita tidak menegurnya. Kita nampak dia mula berubah ke arah kejahatan, kita menjauhinya kerana kita kata dia dah tahu, dia mesti dah faham serta sebagainya.

Kesilapan kita, adalah di sini.

Tiada siapa yang bergerak menarik mereka.

Sebagaimana kamu, mereka juga begitu, saya juga begitu

Bila kita melakukan kesilapan, kita senang untuk orang faham kenapa kita boleh tersilap. Kita tertipu ke, kita terjerat ke, kita memang betul-betul tak tahu kemudian terbiasa dengan kesilapan itu ke, dan 1001 sebab lagi.

Jadi, bila orang hentam-hentam kita tanpa memahami, kita pastinya sakit hati.

Begitulah perasaannya mereka yang buat silap. Saya kira, kita sama dalam hal ini. Baik kamu, mereka, mahupun saya.

Saya sendiri, amat benci manusia yang pakai hentam sahaja tanpa memahami. Kenal pun tidak, sudah menghentam macam dia tahu-tahu aja apa sebenarnya yang terjadi.

Jadi, apakah sikap kita?

Pernahkah kita mendekati ‘pendosa-pendosa yang beragama’ ini, atau kita sekadar menghina kesilapan, ketersasaran mereka dari jauh sahaja?

Mereka butuh manusia yang memahami

Kadangkala, ada something yang di luar jangkaan berlaku dalam hidup mereka ini. Sebab itu dari sebaik-baik manusia, boleh berubah sebegitu rupa. Kita yang biasa-biasa ni, melenting la. Kita terlupa bahawa dia rupanya manusia juga.

Tidak ramai yang mampu bersabar. Sedangkan, keadaan ini hanya boleh dihadapi oleh mereka yang tenang dan rasional.

Siapa yang pergi mendekati mereka, memahami mereka, cuba mencungkil apa sebenarnya permasalahan mereka, kenapa mereka sampai boleh tersasar sedemikian rupa. Siapa? Siapa yang berusaha sedemikian rupa?

“Aku tegur dah dia” Ya la, tegur macam mana? Tegur sekali pastu blah? Tegur 10 kali lepas tu penat?

Kadang-kadang, kita terlupa yang kita tak pernah pun bina ‘jambatan hati’ dengan mereka. Kita tak kenal mereka dalam erti kata sebenar. Kita dan dia tak pernah ada apa-apa perkongsian.

Bila terjadi perkara sebegini, kita lebih senang menghentam. Tegur sekali dua, lepas tu kata tak ada harapan. Ajak masuk usrah balik semula dua tiga kali, kemudian kata dia dah tak dapat hidayah.

Ini masalah kita.

Kemudian kita salahkan dia.

Sebenarnya, kita pun sama. Berputus asa mengajak dia ke jalan Allah.

Bila dia berdosa, tak kira la dia budak agama ke, ulama sekalipun, sepatutnya kita layani dia dengan baik. Tunjukkan dia jalan yang betul.

Sejak bila seseorang itu bila dia jadi pelajar sekolah agama, dia ikut usrah, dia pernah berdakwah ajak orang buat baik, dia keluaran Al-Azhar ke hapa ke, bila jadi maksum?

Sejak bila pula, manusia-manusia ni, bila buat dosa, dibolehkan kita membiarkan mereka?

Bukankah layanannya tetap sama dengan orang yang tidak pernah belajar agama, tidak pernah ikut usrah, tidak pernah berdakwah yang buat dosa?

Yakni tegur, dan pimpin mereka.

Pimpin ya. Pimpin. Fahami maksud perkataan pimpin.

Mereka lebih baik. Kami bukan pelajar agama

Satu lagi kesilapan kita, kita suka kata: “Mereka budak agama. Aku bukan budak agama. Mereka pakai tudung labuh. Aku tudung tiga segi aja”

Dan akhirnya, kita tinggalkan mereka.

Ini kesilapan yang paling besar. Siapa la ajar penegur itu kena sempurna. Kita ni, menegur sambil memperbaiki diri. Kita budak agama ke, bukan budak agama ke, kalau sesuatu kita rasa patut tegur, walaupun teguran kita tu ala-ala menghentam diri sendiri, kena tegurlah juga.

Apa barang bai main kutuk-kutuk belakang aja?

“Dia kan budak agama, dia mesti faham”

Kalau macam itu, budak agama mestilah malaikat semuanya. Tak akan ada buat salah.

Ala, macam kita belajar la. Faham-faham pun, bukan dapat 100% dalam periksa. Betulkan?

Ada ke yang skor semua mata pelajaran dia 100%?

Kalau ada pun, sekelompok kecil aja.

So, macam mana sekarang?

Kena tegur la. Bergerak mendekati mereka ini. Fahami masalah mereka ini. Mana tahu, hati mereka meronta-ronta untuk kamu membantu mereka sebenarnya.

Penutup: Kamu berdosa kalau sekadar membiarkan

Ya, kamu berdosa. Sebab mencegah kemungkaran itu adalah wajib.

“Saya mencegah dengan hati” Ha ha.. ini alasan kamu nak bagi kan?

Rasulullah SAW bersabda: “Sekiranya kamu tidak mampu”

Jadi, kalau ada kudrat, ada suara lagi, ada tenaga lagi, itu tandanya ‘mampu’ itu masih ada pada kamu. Maka, kamu berdosa kalau tidak menegurnya. Teknologi hari ini lagi la ada macam-macam. E-mail ada, facebook ada, Yahoo Messenger ada. Kalau nak pakai gaya zaman P.Ramlee pun boleh – tulis surat.

Kemudian, tegur bukan sekali.

Berkali-kali. Sampaila terjadi salah satu dari empat perkara. Apa dia?

1. Kamu mati.

2. Dia mati.

3. Matahari terbit dari barat.

4. Dia berubah.

Selagi tak berlaku empat perkara ini, adalah tidak patut kita berputus asa dalam memberikan teguran. Kalau tak makan dengan plan A, kita bagi dia plan B. Kalau plan B dia tak boleh jugak, kita bagi dia plan C. Sampai la plan Z. Kalau tak boleh jugak, kita bagi dia plan AZ pula. Kalau tak boleh lagi, bagi plan BZ dan begitulah seterusnya. Sampai salah satu dari empat perkara tadi terjadi pada kita.

“Tapi dia budak agama” Kamu ulang lagi benda ni.

Sudah-sudah. “Dia manusia juga” itu kata saya.

Ayuh, jangan cakap belakang sahaja.

Rapati dia, berikan nasihat. Laksanakan tanggungjawab kamu sebagai seseorang yang faham bahawa dia telah tersasar daripada Allah SWT.

Sesungguhnya, menebarkan kebaikan itu adalah tanggungjawab orang yang beriman.

Tidak kira, kamu budak sekolah agama, atau bukan.

Dipetik dari www.langitilahi.com